Jumat, 16 Agustus 2013

Materi Ahlussunnah Wal Jamaah



AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

I.                   Aswaja Sebagai Manhajul Al-Fikr

Aswaja itu sebenarnya bukan madzhab, tapi hanyalah manhaj al-fikr atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak aliran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, tasamuh, tawazun dan selalu mencari jalan tengah (moderat) yang diterima oleh sebagian besar golongan  (sawad al-a`zham).jika berpegang pada paradigma ini, maka keberagaman madzhab dalam fiqih akan mudah terwadahi.
Apabila ditinjau dari segi manhaj aqwal, semua doktrin Aswaja mencerminkan perpaduan sisi akal dan naql dengan tekanan-tekanan yang berbeda. Formulasi faham ahlussunnah wal jamaah merupakan akumulasi pemikiran beberapa tokoh lintas madzhab. Sehingga melakukan kategorisasi ahlussunnah wal jamaah sebagai sebuah madzhab yang kehilangan momentum.disamping isunya telah lewat juga tidak mungkin sebuah madzhab terdapat beberapa madzhab. Dengan demikian, ahlussunnah waljamaah membutuhkan kreasi-kreasi sebagai konsekuensi dari tuntutan masyarakat.

II. Makna Sejarah Kelahiran Firqoh-Firqoh dalam Islam

Beberapa pokok ajaran dari firqoh-firqoh dalam Islam telah banyak pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran dan pengamalan ajaran Islam di berbagai Negara. Perbedaan faham ini dapat dijadikan fitnah, tetapi juga dapat mendorong pada pengembangan kreatifitas berpikir yang akan mendorong kemajuan umat islam. Disinilah posisi faham ahlussunnah wal jamaah sebagai penengah dari beberapa faham yang ada dan dengan metode  berpikir yang menggunakan akal dan wahyu, akan mudah diterima oleh berbagai tingkatan pemikiran umat islam.
II.    Pandangan Aswaja terhadap masalah social, ekonomi, politik dan budaya serta penerapannya

  1. Sosial

Salah satu motivasi kelahiran NU adalah karena buruknya pelayanan masyarakat. Kemiskinan, buruknya gizi dan kesehatan, rendahnya pendidikan disandang oleh warga NU. Maka, warga NU harus memprioritaskan program dan usahanya untuk mengentaskan kemiskinan, perbaikan kesehatan, dan pendidikan .Tiap warga NU harus berusaha menjadi pelayan bagi pengentasan penderitaan masyarakat

  1. Ekonomi

Kaum nahdliyin mayoritas berasal dari kalangan masyarakat agraris. Otomatis, mereka harus siap dan akrab dengan industrialisasi, modernisasi, komersialisasi, dan manajerialisasi produk agraria. Sementara itu, kaum Nahdliyin yang berada di perkotaan, menjalin komunikasi dan relasi dengan perusahaan dan  birokrasi guna membuka peluang pangsa pasar warga NU yang hidup di desa.
Dengan pola hubungan ini, pelaku usaha NU tidak saja memperoleh peningkatan ekonomi, tapi juga membuka kesempatan untuk belajar dan mengembangkan hasil produksinya menjadi produk unggul dan meningkatkan keahlian pelaku-pelaku usaha NU dalam mengelola sector usaha kerakyatan.

  1. Politik
Di bidang politik, Sunni berpijak pada substansi dengan tidak mengebiri realitas. Sunni lebih memilih gagasan-persuasif disbanding gagasan-radikal. Sunni lebih memilih masuk ke dalam “system” daripada di luar “system”.pada dasarnya Sunni tidak mempunyai konsep bernegara, tetapi Sunni memandang perlunya komunitas Islam mendirikan suatu Negara. Keharusan ini berlaku di tengah pemahaman persoalan imamah yang bukan termasuk pilar keimanan Sunni.
Prinsip Sunni yang cukup longgar tentang relasi agama dan negara memungkinkan umat islam bebas menentukan bentuk pemerintahannya, demokrasi, teokrasi, kerajaan atau yang lain. Sunni hanya memberikan criteria-kriteria yang berorientasi pada terwujudnya kepentingan masyarakat umum. Kriteria tersebut meliputi : syura (konsultasi), al-`adalah (keadilan), al-hurriyah (independensi), dan musawamah (egalitarian).namun dalam tataran relalitas, sikap politik Sunni sering berpihak kepada realitas daripada substansi.  

  1. Budaya

Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah Fiqh (mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik). Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan yang seimbang dan proporsional. Seseorang harus bias mengapresiasi hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu (tradisi yang ada), dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik.
Oleh karena itu, kaum Sunni tidak apriori terhadap tradisi yang memungkinkan kaum Sunni bertindak selektif terhadap tradisi. Sikap selektif ini mengacu pada salah satu kaidah fiqh “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya). Bahkan fiqh Sunni menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hukum.hal ini tercermin dalam salah satu kaidah Fiqh ‘al-`Adah muhakkamah” (adat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum).  

III. Kritik wacana Aswaja
Dalam qa`idah mantiq (logika) dikatakan, bahwa ta`rif itu haruslah “la yunalu tasawwur al-had bi al-had, wa laa yashihu al-had illa idza kana jami`an wa mani`an. Sehingga dalam logika haruslah singkron antara al-jinsu dengan al-fashl. Jika tidak demikian berarti ghair ma`qul.
Aswaja dalam fiqh mengikuti madzhab ini, aqidah ini dan tasawuf ini , berarti ghair jami` wa mani`. Begitu pula jika kita yakini Aswaja itu sebagai madzhab. Bagaimana mungkin suatu madzhab mengandung beberapa madzhab ? bagaimana mungkin dalam suatu madzhab ada doktrin kontradiksi. .
Wal hasil, Aswaja itu sebenarnya bukan madzhab, tapi hanyalah manha al-fikr atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak aliran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, i`tidal, tasamuh, dan tawazun. Kelenturan Sunny ini barangkali yang bias menghantarkan faham ini diterima oleh mayoritas umat islam,     


TUJUAN

Firqoh (aliran) dalam islam muncul akibat dari persoalan politik yang berakibat terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Persoalan tersebut mencapai klimaks pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan terjadi perang saudara yang menyebabkan umat islam terpecah belah. Perpecahan politik ini berakibat munculnya berbagai pemikiran dalam masalh aqidah, sehingga bekembang perdebatan panjangdan menimbulkan firqoh-firqoh.
Ada dua factor yang menyebabkan timbulnya firqoh-firqoh dalam islam :
  1. Faktor Internal : munculnya firqoh dalam islam pasca Khulafaur Rasyidin, banyak memperdebatkan masalah aqidah.
  2. Faktor Eksternal : pergaulan umat islam dengan non muslim yang mendorong timbulnya kajian keimanan dan pendekatan filsafat atau dalil aqli.

2.      Karakteristik 4 madzhab pada masalah fiqih

a.      Imam Hanafi (80-150 H)
Dikenal sebagai terdepan “ahlu ra`y”, baik dalam penggunaan logika sebagai dalil.Imam Hanafi sangat selektif dalam menerima hadits da lebih banyak menggunakan Qiyas dan Istihsan. Dasarnya : Al-Qur`an As-Sunah, Ijma`, Qiyas, Istihsan

b.      Imam Maliki (93-179 H)
Imam Maliki adalah ahli Hadits dan Fiqh. Memiliki Kitab Al-Muwattha`” berisi hadist dan Fiqh. Dasarnya ada 20, yaitu : Al-Qur`an, AsSunnah, Ijma`, Qiyas, Amal ahlul Madinah, Perkataan sahabat, Istihsan, Saddudzarai`,muraatul Khilaf, Istishab, Maslahah mursalah, syaru man qablana.
 
c.       Imam Syafi`I (150-204 H)
Imam Syafi`I adalah seorang mujtahid mutlak, imam Fiqh, hadis dan ushul.Beliau mampu memadukan Fiqh ahli irak dan Fiqh ahli Hijaz.
Dasarnya : Al-Qur`an, Sunnah, Ijma` dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat dan Istihsan karena dianggap sebagai ijtihad yang bias salah, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk madinah.

d.      Imam Hambali (164-241 H)
Seorang pakar hadis dan Fiqh.memiliki kekuatan hafalan yang kuat. Menggunakan hadis mursal dan dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan dlaif batil atau munkar. Dasarnya : Al-Qur`an, Sunnah, Fatwa Sahabta, Ijma`, Qiyas, Istishab, Maslahah Mursalah, saddudzarai`

3.      Ijtihad dan Istinbath dalam NU

  1. Ijtihad
Kata “ijtihad” berasal dari kata “aljahdu” dan “aljuhdu” yang artinya “daya upaya” atau “usaha keras” .ijtihad berarti berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu.Dalam fiqih, ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur`an dan Hadits dengan jalan istinbath. Orang yang mampu menetapkan hukum perbuatan dengan jalan ini disebut “mujtahid”.
Syarat-syarat yang harus  dipenuhi mujtahid adalah :
    1. Harus mengetahui Al-Qur`an dan Ulumul Qur`an
    2. Mengetahui As-Sunnah dan Ilmu Al-Hadits
    3. Mengetahui Bahasa Arab
    4. Mengetahui tema-tema yang merupakan ijma`
    5. Mengetahui Ushul Fiqh
    6. Mengetahui maksud-maksud sejarah
    7. Mengenal manusia dan alam sekelilingnya
    8. Bersifat adil dan taqwa.
    9. Mengetahui Ilmu Usuluddin
    10. Mengetahui Ilmu Manthiq
    11. Mengetahui cabang-cabang Fiqih.

  1. Methodologi Para Mujtahid
1.      Qiyas (analogi),
2.      “Memelihara kepentingan hidup manusia” mencakup 
      tiga tingkatan :
·         Dharuriyat : hal penting yang harus dipenuhi
·         Hajjiyat : Dibutuhkan oleh manusia
·         Tahsinat : hal pelengkap

  1. Tingkatan para Mujtahid
    • Mujtahid Muthlaq : memiliki ilmu pengetahuan yang lengkap untuk ber-istinbath dengan Al-quran dan Sunnah
    • Mujtahid Muntasib : terikat oleh imamnya
    • Mujtahid Fil Madzhab : mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun furu`
    • Mujtahid Tarjih : mampu menilai, memilah-milah pendapat berbagai imam untuk menentukan kuat lemahnya dalil. 

  1. Istinbath
Istinbath identik dengan ijtihad. Istinbath berasal dari kata “nabth” (air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali). Menurut bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Secara istilah adalah menggali hukum syara` yang belum ditegaskan oleh nash Al-qur`an atau sunnah, dengan tetap berada diatas kendali Al-Quran dan Al-Hadits itu sendiri.

Istinbath ada dua macam :
1. upaya menarik kesimpulan pendapat,hukum/ajaran islam
2. upaya menyimpulkan hukum/ajaran agama secara bersama-
    sama.

Pada hakikatnya istinbath itu tergolong ijtihad. Hanya masih berada pada tingkat relatif rendah. Di kalangan kaum bermadzhab, istilah ijtihad mendapat tempat yang sangat luhur.
-------------------------------------------
Disarikan dari berbagai sumber
Oleh ; Muhammad Sholeh Qosim
Jl.Raden Patah – Daleman I. No. 50 Sidoarjo, Telp. 031.8056950
Disampaikan dalam rangka Latihan Kader Utama IPNU IPPNU Cabang Sidoarjo, 30 Nopember 2007 di PP Al-falah Siwalanpanji-Buduran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar